Monday, September 05, 2005

Feeling Grieve

Tadi pagi, ada sebuah dialog yang cukup menarik di TV, tentang "Feeling Grieve". Narasumbernya adalah pengarang buku psikologi terkenal, namun ia tidak cerita tentang bukunya, melainkan bercerita tentang pengalaman hidupnya dalam menghadapi peristiwa yang cukup sedih.
Mungkin dialog ini cukup membosankan, kalo saya melihatnya beberapa bulan sebelum ditinggal Ibu. Namun, menjadi menarik, karena saya sendiri, sampai sekarang masih belum bisa pulih sepenuhnya dari perasaan kehilangan seorang yang cukup berarti.
Narasumber bercerita, tentang reaksi orang yang beragam dalam menghadapi kedukaan. Ada yang marah, ada yang tidak menerima kenyataan, ada yang sedih berlarut-larut, adapula yang kebingungan. Dia sendiri, menurutnya, termasuk dalam kelompok yang marah-marah tanpa sebab yang jelas ketika menghadapi peristiwa tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, menurutnya, maka perasaan sedih ini hilang, apabila kita sudah mulai menerima kenyataan tersebut.
Masih ingat, reaksi awal saya ketika berita duka datang dari rumah, adalah bingung. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Cukup lama saya diam, tidak menangis, tapi tidak tahu akan melakukan apa. Kemudian, teringat ajaran agama, untuk ambil wudlu dan sholat menghadapi situasi seperti ini. Setelah wudlu dan sholat, mulailah saya bisa menangis dan mulailah sadar apa yang terjadi dan kemudian merencanakan untuk pulang kerumah.
Ada satu point dari dialog ini, yaitu supaya orang-orang dewasa mencontoh bagaimana anak-anak kecil menghadapi duka. Mereka, anak-anak kecil, menyadari sepenuhnya ketidakhadiran orang yang sudah tiada, namun mereka tidak bersedih terlalu lama.
Saya ingat, keponakan saya, umurnya 2 tahun, kalo ditanya "nini (nenek, bhs sunda) kemana dik?", dia pasti jawab "nini sudah meninggal". Dan setiap sehabis makan, karena kebiasaannya makan sama nininya, dia sering bilang "adik sudah makan, tapi nini belum makan". Pernah, bibi saya dari garut datang, trus karena orang sunda, orang tuanya menyuruh memanggilnya dng sebutan nini, ketika bibi saya ini akan pulang, dia bilang "nini gak boleh pulang, kalo nini pulang, adik gak punya nini lagi". Meskipun menyadari sepenuhnya ketidakhadiran nininya, keponakan saya ini tidak bersedih berlarut-larut. Sesuatu yang menurut narasumber dialog diatas, perlu ditiru sama orang dewasa... dan mungkin... ditiru sama oom-nya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home